Jumat, 28 Maret 2014

Seperempat lusin pertanyaan lucu

Seperempat lusin pertanyaan lucu masih kujinjing. Mungkin membawa dengan cangkir ataukah ember hitam agar tak kentara:

Aku yang terlalu memaknai sebuah kebersamaan
atau
kamu yang begitu cepat menghapus semua, segalanya?


Aku yang selalu pura-pura mencipta jarak
atau
kamu yang memang sudah berlari dariku?


Aku yang masih menyimpan rasa
atau terlalu bodoh?

Selasa, 04 Maret 2014

Bagaimana memaknai rasa yang ter-eja?


Bagaimana memaknai keadaan?
kau tahu, Rinduku serasa mulai sekarat. Menunggu mungkin adalah diksi yang salah, sebab perasaan selalu di sana dan tidak akan kemana-mana. Ya, tetap di sana ketika tak ada tangan yang terulur.

Bagaimana memaknai masa lalu?
Kau tahu, memori tentangmu bergelayut manja ketika waktu berdinding sunyi. Tidak, jangan katakan aku tidak memiliki seseorang di sampingku,tidak. Ruang kelas begitu ribut, teman sebangku bahkan dengan cerewet berkisah -entah apa itu-. Tapi yang terpikir hanya apa? jangan tanyakan lagi. Ini tentangmu. Maaf kurasa aku memang harus belajar. Tapi bukankah itu membutuhkan waktu?

bagaimana memaknai perasaan?
Kau tahu, setiap kenangan itu berhasil menggeret-geret isi kepalaku. Memaksa dadaku memberi respon yang sama. Sungguh, tak bisa kunamai ini perasaan semacam apa. Yang kutahu, waktu benar-benar sanggup melumatku ke memori itu.

Bagaimana mengurai perasaanku (padamu)?
Biarkan aku menghitung waktu dengan napas yang tersisa
Dengan sembilu yang tertanam
Dengan rasa yang sulit kueja lagi.

Satu kalimat untukmu: Aku akan bermain peran (melupakan dan tidak pernah menunggu) seperti inginmu.
dan satu kata dariku: MAAF.

Sketsa

Bingung dengan situasi.
Merasa ciut dengan semua ini.

Salahkah jika kubiarkan tubuhku bermain peran dalam sketsa?
menyusuri tiap goresan. Tumpang-tindih, berjejal dengan gejolak si empunya.

Entah harus merasakan apa.
haruskah kembali bermain peran?
Haruskah menetap pada keadaan yang membuat terhimpit?

salahkah jika lari dari sketsa awal?
salahkah jika penghayatan si empunya tidak merasup jiwa?
salahkah jika semua yang ada sekarang. Ditinggalkan. Pergi dengan membawa sketsa baru?

Minggu, 02 Maret 2014

(selalu) Terkadang

Terkadang sebuah kepergian selayaknya menyalurkan rindu meretas, tapi masih bisakah ia dikatakan mmeretas ketika kepergian masih menyisakan ruang tunggu yang sesak?

Terkadang memaksa seseorang untuk bertahan itu sesuatu yang konyol, tapi bukankah itu adalah tindakan terakhir di tengah kegamangan?

Terkadang sebuah perubahan itu memang perlu, tapi bisakah waktu berjalan beriringan, membimbing dengan sentuhan?

Terkadang membutuhkan seseorang yang bersedia menopang tubuh kita dan menghapus bulir yang mengalir di pipi, tapi ia terasa jauh.

Terkadang semua terasa tidak adil, tapi berpikir untuk sebuah keadilan harus tertanam juga "kapan saya adil kepada Rabb-Ku? sehingga merasa tidak seadil ini?"