Senja ini, saya menaruh harap dari senyum Murobbiyahku.
Senyum yang entah kadang-kadang kurindui seperti merindui omelan ibu yang menyuruh makan (penj: perhatian).
Dua tahun terakhir, ketika pertama kalinya kudapati senyum itu, ia menuntun menapaki jalan yang kadang berlubang kecil yang membuat kaki tersandung atau malah jatuh tersungkur. Terkadang pula kudapati lubang terlalu besar dan membuat tersungkur jatuh ke dalam.
Dia -Sang Murobbiyah- datang mengulur tangan. Menarikku dengan dua cara. Terang-terangngan dan sembunyi.
Terang-terangan menyentuh tangan dan menarik keluar. Atau hanya bersembunyi seolah tak ingin ikut campur dan membuatku berpikir kritis, mencoba menyederhanakan pikiran.
karena "Hidup itu sederhana
ji, Dek," katanya.
Bisa diselesaikan tanpa rumit-rumit kehidupan yang selalu dipermalahkan manusia.
Senja ini, kami mengenang perjalanan dua tahun yang menjadi awal pertemuan.
Bagaimana kocaknya, kekonyolan, dan kebersamaan akhwat.
Diskusi masalah dakwah yang harus terus diperjuangkan.
Dan menyinggung tentang ukhuwah.
Kukatakan padanya LELAH.
"Terkadang kita harus keluar dari sebuah lingkaran / berpisah untuk melihat kekuatan diri-diri
ta dan orang-orang di sekeliling
ta."
ucapan itu, ya ucapan itu selalu tergiang. Menepuki gendang telingaku.
Ya, perpisahan memang sesederhana itu kalau hati memang menginginkan. Tapi bagaimana kalau tidak?
bagaimana kalau hati tak pernah bisa bersahabat dengan sebuah kenangan?
"Ndan, terkadang kita memang harus tega walaupun hati
ta' tidak menginginkan ketegaan itu."
Dengan Senyum itu, adakah pelajaran (tersembunyi) lagi dengan sebuah perpisahan?
Senyum itu, adakah makna lain lagi?
Senyum itu ...
senyum itu